Figur Publik bagi Perusahaan: Antara Laba dan Malapetaka

Mungkin Anda sempat mendengar sejumlah berita baru-baru ini tentang megabintang sepak bola, Cristiano Ronaldo yang sengaja memindahkan dua botol Coca-Cola di hadapannya ketika baru duduk di kursi konferensi pers. Pascamomen figur publik memindahkan dua botol, saham perusahaan Coca-Cola di bursa New York langsung anjlok dan kandas hampir 56,8 triliun rupiah.
Kejadian ini dapat menunjukkan salah satu kasus manajemen risiko. Betapa mudahnya peristiwa disruptif terjadi di zaman VUCA (volatility uncertainty, complexity, and ambiguity) ini. Hanya perlu 10 detik yang dilakukan oleh satu orang figur publik untuk dapat menimbulkan bencana bagi perusahaan korporasi.
Cerita lain, BTS Meal yang merupakan menu kolaborasi grup K-Pop BTS dengan McDonald’s berdampak fantastis. Keputusan ini diproyeksi menguntungkan McDonald’s miliaran rupiah, dan BTS Meal tercatat menghasilkan tambahan pemasukan kepada grup BTS itu sendiri lebih dari 128 miliar rupiah dalam hitungan hari.

Lalu apa yang dapat dipelajari dari dua momen tersebut dalam konteks manajemen risiko perusahaan?
Ketidakpastian dan peristiwa disruptif dapat terjadi baik dari internal ataupun eksternal organisasi. Oleh sebab itu, para pimpinan puncak mesti cepat tanggap dan segera bertindak memitigasi perubahan yang ada. Istilah dalam bahasa Inggris yang dapat untuk mewakili konteks itu ialah agile. Perusahaan harus agile terhadap dinamika yang sudah dan akan terjadi di dalam dan luar industrinya.
Suatu contoh nyata yang masih relevan berasal dari kisah Ericsson dan Nokia.
Sekitar tahun 2000-an Ericsson dan Nokia adalah para pemain utama di pasar telepon genggam. Suatu kali ada berita bahwa Philips, pemasok salah satu komponen kunci mengalami kebakaran pabrik, dan hal ini berimbas kepada Ericsson dan Nokia. Namun, respon manajemen berbeda. Di Ericsson, kasus tersebut diserahkan ke divisi supply chain dan akhirnya diputuskan bahwa gangguan pasokan komponen yang tertunda tidak memerlukan perubahan yang besar dalam proses bisnis.
Akibat peristiwa itu, Ericsson memperkirakan akan ada keterlambatan supply komponen maksimal 6 bulan. Lain dengan Nokia, kasus kebakaran Philips sampai dibicarakan di level top management dan berakhir pada tindakan mitigasi yang tepat dalam rantai pasok.
Singkat cerita, ternyata kelambatan supply komponen itu hingga lebih dari 6 bulan, dan menyebabkan Ericsson gagal merilis produk-produk baru untuk bersaing di pasar. Kebakaran pabrik Philips itu pada akhirnya memaksa bisnis Ericsson bertahan dengan cara diakuisisi oleh Sony, hingga muncullah brand Sony Ericsson.
Jikalau pengambilan keputusan Ericsson berada di tingkat gudang/logistik dan bukan top management, di Nokia, sistem membaca bahwa ada potential loss hingga miliaran dollar, sehingga hal tersebut tidak dapat diputuskan oleh divisi supply chain. Solusi di level CEO lebih berorientasi risk thinking approach, mereka mengutus tim due diligence untuk menyelidiki seberapa cepat pabrik Phillip dapat pulih. Akhirnya CEO Nokia dan CEO Philips bertemu dan mengambil keputusan yang terbaik bagi keberlangsungan produksi Nokia.
Dari sejumlah cerita ini, Anda dapat melihat bahwa perusahaan tidak boleh lengah. Selain mitra kerja, figur publik seperti Cristiano Ronaldo dan grup BTS juga merupakan contoh pihak eksternal perusahaan yang perlu dipertimbangkan. Era digital dan media sosial menambah tantangan perusahaan dalam merespon ketidakpastian secara tepat. Mengulang tulisan yang ada di paragraf keempat, “para pimpinan puncak mesti cepat tanggap dan segera bertindak memitigasi perubahan yang ada.” Pertanyaannya kini, sudah cukup agile-kah Perusahaan Anda?
Baca juga Konteks Eksternal Perusahaan: Hal Krusial dalam Manajemen Risiko.